SITUBONDO - Saya akan melanjutkan cerita tentang Kiai As'ad Syamsul Arifin, yang saya terima dari Kiai Yazid Karimullah, salah seorang santri dekat Kiai As'ad yang pernah saya ceritakan dulu.
Saya sangat beruntung sekali, Kiai Yazid banyak "membocorkan" dengan penuh suka cita info-info sejarah Kiai As'ad yang sangat filosofis, magis dan nuansa pendidikan sufi tingkat tinggi dalam tiap kisahnya.
Salah satu dari sekian kisah yang saya simak dari Pendiri Pesantren Nurul Qarnain, Jember itu adalah kisah berikut:
Suatu ketika Kiai Yazid sedang tertimpa banyak masalah, fitnah dan seabrek persoalan-persoalan kemasyarakatan yang menimpa dirinya. ia merasakan beban, yang amat berat sekali. puncak beban berat itu, akhirnya memotifikasi dirinya untuk segera menemui sang Maha Guru, Kiai As'ad di Pesantren Sukorejo.
Sesampainya di Sukorejo, di sana sudah ada beberapa tamu, yang sedang menunggu Kiai As'ad sejak beberapa hari yang lalu. Kiai As'ad sedang ada di Pondok Putri mengontrol para tukang dalam pembangunan gedung pondok. Sebagaimana kebiasannya.
Kiai Yazid menunggu. di tengah penantian itu, justru Kiai Yazid ditemui dan dipanggil oleh Kiai Dhofir, menantu Kiai As'ad.
Oleh Kiai Dhofir, Kiai Yazid ditanya apakah sudah bertemu dengan Kiai As'ad? Kiai Yazid menjawab belum. Kiai Dhofir menyebut bahwa memang beberapa hari ini, Kiai As’ad tak menerima tamu. Dua orang yang menunggu di depan dhalem, dari kemarin belum berjumpa dengan beliau.
lalu Kiai Dhofir menemui Kiai As'ad untuk melaporkan bahwa ada beberapa tamu yang sedang menunggu, termasuk santrinya yang bernama Yazid Karimullah dari Jember.
Baca juga:
Menanggapi Paradigma Polemik Perubahan Laut
|
Melihat perlakuan Kiai Dhofir, Kiai Yazid kaget bukan main. tak seperti biasanya sampai Kiai Dhofir "perlu" menjembatani dirinya dengan Kiai As'ad.
"Siapa saya?", ujar Kiai Yazid pada dirinya.
Kiai As'ad membuka pintu. dan Kiai Yazid beserta dua tamu lainnya dipersilahkan masuk ke "istana" Kiai As'ad yang seperti amat sederhana hingga tampak “mau roboh” itu.
rumah Kiai As'ad memang terkesan sederhana dan biasa saja bahkan sangat tak layak ditempati oleh sosok sekaliber Kiai As'ad, yang ketokohannya sangat terkenal di masanya. tapi bagaimana lagi, Kiai As'ad sosok zahid. di tempat itu semua tamu dari berbagai elemen diterima.
"Badha perlo apa?--ada perlu apa?", tanya Kiai As'ad pada Kiai Yazid, yang sejak Jember sudah membawa berbagai masalah yang hendak disampaikan pada Kiai As'ad dan dicari solusinya.
Sial! Kiai Yazid tiba-tiba tak mampu untuk sekadar menyampaikan tujuannya. ia kaku dan karena terdesak dengan pertanyaan Kiai As'ad, ia hanya mampu menjawab:
"Sobung, kiai, abdina terro nyabis biasa--tak ada kiai, saya hanya ingin sowan biasa". Jawab Kiai Yazid terbata-bata.
Di samping karena tak bisa menyampaikan permasalahannya, Kiai Yazid merasa “tak leluasa” sebab masih ada dua orang tamu yang lain.
Lalu kiai As'ad bertanya keperluan dua tamu lainnya. setelah ditanya masing-masing keperluannya oleh Kiai As’ad ternyata dua tamu yang orang China itu sedang tertimpa masalah. Keduanya sama-sama sedang memiliki piutang dan tak kunjung dibayar oleh yang meminjam. Kiai As’ad kemudian memberi solusi dan mendoakan keduanya. Keduanya pun pulang.
Akhirnya dua orang itu pamit pulang. sementara Kiai Yazid tak ada perintah pergi dari Kiai As’ad. jadilah di ruangan itu tinggal dua orang, Kiai As'ad dan Kiai Yazid. suasana makin membuat Kiai Yazid sebagai santri benar-benar deg-degan.
Dan tiba saatnya Kiai As'ad membalikkan pandangannya pada Kiai Yazid lalu bertanya kembali:
"Enjha' apa se bhandar keperloanna bha'en?-Tidak, apa sebenarnya keperluanmu?" tanya Kiai As'ad menegaskan.
lalu Kiai Yazid memberanikan diri menyampaikan apa yang menjadi keluh kesah dan beban hidupnya belakangan ini. belum selesai menceritakan masalahnya, Kiai As'ad memotong percakapan dan menjawab dengan suara agak tinggi sembari memukul meja di hadapannya:
"Mole! ambhu daddhi kiaeh. sabha' ketabba, soro mule santrena. daddhi kiai reya kodhu bengal ekamosoe oreng, bengal epateeh oreng, bengal efitnah, bengal ka lapar, banghal ka rogi, dha' nyamana poko'en mon ghi' daddhi kiai badha bhetena bhanni Kiai apopole ulama".
jika diterjemahkan:
"Sana pulang! berhenti jadi kiai. letakkan kembali kitabmu, suruh pulang santrimu. orang jadi kiai harus berani dimusuhi, berani dibunuh, berani difitnah, berani menahan lapar, berani rugi, intinya tak ada yang enak. kalau jadi kiai masih ada keutungannya berarti bukan kiai apalagi ulama."
Ketika menceritakan kisah di atas, Kiai Yazid tampak berkaca-kaca penuh haru. ia menyeka air mata yang hendak keluar. dan betapa cengengnya saya, ikut-ikutan haru dan berkaca-kaca juga. selesai menceritakan kisah itu, saya menahan nafas, suasana hening dan akhirnya beliau mencairkan suasana dengan memerintahkan saya untuk menikmati kopi yang disuguhkan.
Dan konon sejak peristiwa itu hingga kini, Kiai Yazid dalam mengelola pesantren selalu yakin atas Kuasa Allah. Kuasa Allah Swt melampaui kalkulasi mahlukNya. Ia tak pernah berfikir apa-apa soal perjuangan. Ia berkhidmah tanpa beban. Itu semua gara-gara “marah” Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Situbondo, 19 Maret 2022
Ahmad Husein Fahsbu